Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Januari 2010

Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya

oleh: ndaru sih


Mutakhir ini budaya tradisional kita sedang mendapat perhatian dari masyarakat domestik dan manca. Semenjak klaim-klaim kebudayaan seperti malaysia, kita menjadi sadar jika kebudayaan itu milik kita dan siapa lagi kalau bukan kita yang mewarisi. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri jikalau sekarang kita juga sedang mengalami krisis menghargai warisan kebudayaan. Kebanyakan dari kita secara sadar atau tidak telah memilih kebudayaan asing (eropa, cina dan jepang) dari pada kebudayaan nenek moyang kita sendiri. Dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena transformasi budaya merupakan hal yang wajar terjadi apalagi di era globalisasi seperti saat ini. Namun kita juga tidak boleh berpangku tangan melihat warisan budaya kita kalah. Sebisa mungkin kita harus mempertahankan. Seiring dengan perkembangan zaman, seharusnya kita mampu menerapkan isu-isu aktual dalam kebudayaan kita. Sehingga motif kebudayaan senantiasa update atau tidak ketinggalan zaman. Karena selera masyarakat dulu dan sekarang memang berbeda. Mungkin dengan menuruti selera masyarakat sekarang kebudayaan kita akan lebih diminati khalayak.

Ketoprak merupakan contoh warisan budaya yang hampir punah. Di Kediri, Jawa Timur perkumpulan ketoprak masih dipertahankan sampai sekarang. Kelana Bhakti Budaya merupakan generasi ketoprak tobong yang sudah ada sejak tahun 1960-an. Saat perkumpulan-perkumpulan ketoprak lain mulai bangkrut, Kelana Bhakti Budaya lahir dengan niatan suci: mempertahankan budaya leluhur. Hanya niat tulus ikhlas lah yang mendasari semangat dari tiap anggota. Buktinya mereka tetap setia melakoni pentas keliling, walau dengan imbalan sedikit. Mereka juga rela di kala siang harus berkerja sambilan, menjadi tukang bangunan, tukang batu atau pekerjaan buruh lain.

Kelana Bhakti Budaya yang didirikan pada tahun 2000 ini melanjutkan generasi ketoprak tobong di Kediri. Dengan tertatih-tatih perkumpulan ini berdiri ditengah zaman televisi dan komputer. Di saat perkumpulan ketoprak sejenis banyak yang bangkrut, perkumpulan ini justru banyak berbenah diri. Sebelumnya perkumpulan ketoprak ini bernama Sri Budoyo (1992), kemudian berganti nama menjadi Candra Kirana (1994). Sebenarnya ketoprak ini sempat vakum ditahun 1999, namun berhasil bangkit lagi berkat usaha keras bapak Dwi Tartiyasa, pemilik ketoprak ini sekarang. Yang menarik dari perkumpulan ketoprak ini adalah : semangat dari para anggota ketoprak tobong yang merelakan hidup matinya di tobong. Mereka harus pentas berpindah-pindah dengan penghasilan yang sedikit. Belum lagi jika waktu musim penghujan datang, mereka tidak mendapat penghasilan dan hanya mendapat uang makan saja.

Bertahan ditengah zaman televisi dan komputer, ketoprak tobong tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Inovasi dalam ketoprak tobong sangat kurang, bahkan mungkin lakon cerita dari dulu sampai sekarang masih sama. Mereka tidak bisa memenuhi selera pasar sekarang, mungkin ini lah yang membuat ketoprak banyak kehilangan penonton. Mungkin juga karena pertunjukan ini digelar pada malam hari, mulai dari jam sembilan sampai setengah dua belas malam. Sehingga banyak orang yang enggan menyaksikan karena lebih baik menggunakan waktu mereka untuk beristirahat.
Seperti yang telah saya sebutkan dibagian isi, jika Kelana Bhakti Budaya adalah satu-satunya ketoprak tobong yang ada di Yogyakarta. Anggota dan penggemar ketoprak tobong ini hampir 97% adalah orang tua yang sudah berumur 50 keatas. Melihat hal tersebut bukan berarti saya mengharap ketoprak ini akan mati. Namun pada akhir makalah ini saya mengajak para pembaca untuk tidak melupakan budaya leluhur khususnya ketoprak tobong. Atau bahkan mungkin saudara ikhlas membantu dengan membeli karcis dan menonton pertunjukan ini.

(tulisan ini adalah bagian kesimpulan makalah Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya)

Sejarah Batik

oleh: Januar Wida
mahasiswa sejarah UGM

Batik tulis merupakan salah satu hasil kebudayaan Indonesia yang unik karena teknik pembuatannya yang berbeda dengan seni yang lainnya. Batik tulis menyebar di beberapa daerah di Indonesia dan masing-masing daerah mempunyai ciri khasnya masing-masing. Ciri khas tersebut dilihat dari motif dan pola hias dari tiap-tiap daerah. Perbedaan-perbedaan motif dan pola hias di tiap-tiap daerah memperlihatkan beragamnya seni masyarakat Indonesia.
Ada beberapa pendapat tentang asal mula batik tulis tulis . Pendapat pertama menyatakan bahwa bati datang pertama di Indonesia di bawa oleh bangsa India bersamaan dengan penyebaran agama Hindu dan Budha. Pendapat kedua menyatakan bahwa batik tulis adalah produk asli Indonesia. Hal ini di dasari oleh alasan bahwa teknik pembuatan batik tulis, yaitu menutup dengan bahan lilin pada bagian-bagian kain yang tidak di beri warna, tidak hanya di kenal di daerah-daerah yang langsung mendapat pengaruh agama Hindhu dan Budha saja, seperti Jawa dan Madura, tetaapi teknik batik tulis juga dikenal di Toraja, Flores, dan Irian Jaya Pengembangan kesenian India di Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri. Jadi yang memperkaya kesenian Indonesia adalah orang-orang Indonesia yang telah hidup dan belajar di India untuk beberapa waktu. Jadi jelas bahwa bangsa Indonesia sendirilah yang menciptakan kesenian baru di Indonesia. Ini dibuktikan oleh bangunan-bangunan kuno seperti Borobudur, Prambanan dan sebagainya.
Sejarah batik tulis di Yogyakarta sangat erat kaitannya dengan keraton karena dari sinilah tonggak sejarah bermulanya perjalanan batik tulis di Yogyakarta pada masa lampau dan kemudian berkembang sampai saat ini. Di Yogyakarta batik tulis sudah ada sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I yang pada waktu itu batik merupakan baju kebesaran yang salah satu fungsinya di pakai untuk kepentingan upacara adat. Batik pada waktu itu disebut juga dengan batik tradisional. Batik tradisional dibedakan menjadi dua golongan , yaitu busana sehari-hari dan busana resmi. Busana sehari-hari adalah busana yang di pakai dalam acara sehari-hari sedangkan busana resmi adalah busana yang hanya dipakai dalam acara resmi saja.
Pada masa lampau batik merupakan cerminan status sosial karena pada waktu itu batik merupakan barang eksklusif sehingga dapat dilihat bahwa orang yang memakai batik pastilah orang dari kalangan atas. Seperti kita ketahui bahwa masyarakat Yogyakarta pada waktu itu masih erat kaitannya dengan strata sosial. Mereka hidup mengelompok dengan stratanya masing-masing.
Perusahaan-perusahaan batik tulis juga masih di pegang oleh kaum wanita yang biasa disebut dengan juragan batik. Pada mulanya tradisi membatik berasal dari kalangan putri keraton. Putri keraton pada saat itu masih harus mengikuti budaya adat yaitu masa remajanya dilalui dengan cara di pingit. Pingit adalah cara yang digunakan untuk mendidik putri keraton agar menjadi wanita yang seutuhnya. Pada masa pingitan putri keraton dilatih dalam hal kerumahtanggaan seperti: memasak, menyulam dan membatik. Jadi setiap putri keraton pasti bisa membatik. Maka dari itu sebagian besar wanita keraton banyak yang bisa membatik.
Pada masa kolonial, sebelum Perang Dunia I seluruh bahan kain yang di buat untuk membatik yang berupa kain mori semuanya diimpor dari Eropa khusunya Belanda. Usaha ini di rintis oleh Serikat Dagang Islam pada tahun 1911 yang di wakili oleh Djojoaminoto. Tujuan lembaga ini adalah untuk membangkitkan semangat wirausaha untuk memperbaiki ekonomi rakyat dan untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Tentu saja dengan adanya ini maka dunia perbatikan akan lebih maju lagi.
Pada abad XX batik mengalami perkembangan yang pesat. Pembuatan batik mulai menyebar di luar keraton. Pada 1850 ditemukan canting cap dan didukung oleh penemuan warna sintetis pada 1918, Penemuan cat sintesis di Jepang, Jerman, Inggris dan Perancis memberikan pengaruh besar terhadap dunia perbatikan. Bila di negara-negara Barat pabrik tekstile mencelup benang dengan warna sintesis, di Yogyakarta orang menggunakannya dalam proses pewarnaan.batik. Tetapi penggunaan cat kimiawi di Indonesia mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1922 pemerintahan kolonial belanda mendirikan Textiel Institut en Batik Proef Station di Bandung. Lembaga ini bertujuan untuk memberikan penyuluhan kepada perajin. Pada tahun 1927 batik mengalami kemajuan, sehingga membuktikan bahwa usaha yang di lakukan oleh pemerintah kolonial Belanda telah berhasil.
Pada tahun 1927 ketika Belanda mulai berhasil mengembangkan usaha batiknya, Jepang mulai mengekspor mori ke Indonesia, hal ini menggeser kedudukan pasar mori Belanda. Sistem penyaluran produk impor ini melibatkan para pedagang Cina dan Arab. Segi pemasaran produk batiknya dikuasai oleh cina dan menjualnya dengan cara ijon. Oleh karena itu para pengusaha batik berusaha keluar dari situasi ini dengan cara mendirikan koperasi. Sehingga pada tahun 1939, di surakarta didirikan gabungan koperasi batik, yang bertujuan dapat membeli mori dan bahan batik langsung dari Importir. Gabungan koperasi batik kemudian mengusahakan impor sendiri mori dan bahan batik dan berupaya mendirikan pabrik mori secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal cara berdagang yang baik. Koperasi ini semakin lama semakin berkembang.
Perkembangan koperasi ini hanya sampai sekitar tahun 1942 pada saat pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang memerintah dengan cara militeristik dan memusatkan semua kegiatannya pada perang Hal ini pasti akan sangat berpengaruh pada perkembangan batik tulis dan batik cetak di Indonesia khususnya Yogyakarta.. Para pengusaha batik tulis akan kesulitan mendapatkan bahan baku untuk pembuatan batik tulis. Impor kain mori macet total pada saat itu. Setelah tahun1950 barulah produksi batik tulis sedikit demi sedikit kembali bangkit, hal ini karena adanya campur tangan dari pemerintah Indonesia dengan mendirikan Balai Penyelidikan Batik Yogyakarta di bawah pengawasan pusat Jawatan Perindustrian di Jakarta. Lembaga ini bertugas memberikan bimbingan tentang pembuatan batik yang baik dan benar, sehingga kualitas batik akan semakin meningkat.
Pada tahun 50-an batik tulis mengalami perkembangan yang signifikan. Baru pada tahun 70-an sampai tahun 80-an batik mengalami perkembangan yang pesat. Produksi batik tidak hanya di buat baju saja tetapi dibuat berfariasi seperti busana modern (kemeja, rok, blus dan lain-lain), elemen interior (taplak meja, seprei, korden dan lain-lain), cinderamata (dompet, tas, dan hiasan dinding). Pada tahun ini terjadi perubahan bentuk dan fungsi batik tulis. Jika dulu batik tulis berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan segitiga namun sekarang sangat bervariasi dengan seni hias yang berbeda. Demikian juga dilihat dari fungsinya, jika dulu kain batik tulis hanya di gunakan sebagai pakaian saja tetapi sekarang kain batik tulis di gunakan sebagai cinderamata, elemen interior dan lain-lain.

Selasa, 08 September 2009

Jati Diri Baru Mahasiswa

oleh Radit Dukarno

Idealisme mahasiswa sikap pantang menyerah untuk mentransformasikan bentuk ideal cita-citanya menjadi kenyataan. Seperti yang dikmukakan oleh Lewis Coser, mahasiswa adalah “orang-orang yang kelihatanya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya”. Mereka mencari dan mempertanyakan kebenaran yang berlaku di suatu saat, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Definisi Mahasiswa adalah individu yang sedang melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menempuh suatu program pendidikan. Mahasiswa secara luas adalah pembaharu bagi kemajuan dan penopang hidup masyarakat. Sebagai kelompok intelektual-teknokrat, mahasiswa berpeluang untuk berada dalam posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat.

Pasca 98 pergerakan mahasiswa seperti mati suri, tenggelam dalam euforia keberhasilan menggulingkan rezim otoritarian. Apakah cita-cita ideal tentang kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat telah tercapai ? realitanya, “ musuh bersama” masih hidup dan merupakan bahaya laten yang lebih masif. Selama status quo, wajah baru neoliberalisme masih berkuasa cita-cita mahasiswa belum tercapai!. Persoalannya, kemana tongkat estafet idealisme mahasiswa ? Tongkat estafet idealisme rapuh dimakan “rayap-rayap” komersialisasi kampus. Idealisme mereka digadaikan karena biaya kuliah tinggi akibat sistem undang-undang pendidikan yang baru. Pragmatisme mahasiswa ini seperti temuan survei BEM KM UGM terhadap Mahasiswa UGM, yang dilakukan pada bulan April 2009. Survei yang mengambil sampel sebanyak 380 mahasiswa aktif S1 dan D3 UGM ini menemukan bahwa, sebanyak 28,9% responden mahasiswa tidak aktif berorganisasi di lingkup kampus. Bahkan untuk organisasi ekstra kampus, tingkat keaktifan mahasiswa jauh lebih rendah, yaitu sebanyak 78,8% responden. Karakteristik mahasiswa ini diperkuat dengan tipe pilihan tema kegiatan. Self Motivation, Kewirausahaan, dan Tips Berkarir adalah tiga tema utama yang paling digemari mahasiswa untuk memilih suatu kegiatan. Sementara isu-isu pendidikan seperti UU BHP, Pemilu kurang diminati. Semua temuan tersebut mengindikasikan kecenderungan mahasiswa yang hanya berpikir untuk pengembangan dirinya.

Hasil jajak pendapat seperti ini juga terekam dalam survei BEM KM UGM yang mengambil sampel 345 responden, tentang persepsi mahasiswa baru UGM terhadap aktivitas kampus. Generasi mahasiswa mendatang di perkirakan akan kehilangan kultur aktivis. Ekspresi tersebut ditunjukan oleh 57,60 % responden yang tidak setuju terhadap aksi demonstrasi jika pihak universitas menaikan biaya kuliah. Demonstrasi, aksi legendaris mahasiswa bentuk perwujudan ketidakpuasan ketika semua tidak berjalan ideal. Ironisnya mengalami paradoksial, sinarnya akan segera redup. Penegasan terhadap kondisi demikian terefleksikan, pada minat masuk organisasi pergerakan dimata mahasiswa baru sangat kecil. Hanya 5 % responden yang berminat menjadi aktivis.

Mahasiswa bukan hanya terdaftar secara administratif dan belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa juga harus menuntut transparansi dan pengelolaan keuangan dari pihak universitas. Hasilnya 57,60 responden menjawab setuju terhadap masalah transparansi keuangan. Semantara itu pemahaman mahasiswa terhadap isu non akademis, menunjukan fakta yang menarik. Sebanyak 40,50 % responden menjawab kurang setuju dan 3,40 % sangat tidak setuju terhadap masalah relokasi pkl oleh pihak univesitas. Sebaliknya 52,50 % responden menjawab setuju dan 3,40 % menjawab sangat setuju. Bila diakumulasikan data mahasiswa yang respect terhadap masalah pkl memang masih tinggi tetapi selisihnya tipis dengan mahasiswa yang kontra. Ada indikasi bahwa mahasiswa apatis terhadap permasalahan sosial. Orientasi mereka hanya terpusat terhadap permasalahan tataran lingkungan kampus. Mahasiswa harus inklusif peka terhadap permasalahan sekitarnya dan kontekstual telibat dalam proses pengawalan keadilan.

Ada kecenderungan mahasiswa baru akan fokus ke study oriented, disampaikan oleh 54 % responden menjawab setuju akan mempercepat kuliah. Dugaan ini semakin menguat, responden memilih setuju 40,70 % dan sangat setuju 25,40 % tugas utama mahasiswa adalah mengejar IP tinggi. Hal ini menunjukan bahwa pesan mahasiswa baru lebih tertarik pada persoalan individualis dan terjadi reduksi kultur aktivis dikalangan mahasiswa.

Komposisi yang seimbang, mahasiwa tidak hanya memiliki IQ yang tinggi tetapi juga diimbangi EQ (kecerdasaan emosi). Bahkan berdasarkan banyak penelitian, IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20 % sedangkan kecerdasan emosi memberi kontribusi 80 % (Irfan, dkk, 2000:33 dan Ngermanto, 2000:97). Pembangunan karakter mahasiswa tidak hanya duduk dikelas, menghapal perkataan dosen , dan mengejar nilai. Ada dinamika lain yaitu kepemimpinan dan proses pendewasaan, lewat organisasi kemahasiswaan kecerdasan emosi terbentuk. Dunia organisasi mengajarkan mahasiswa untuk mampu bersosialisasi, saling membantu, dan bertukar pendapat. Keuntungan lainya mahasiswa siap diterjunkan ditengah masyarakat dan langsung dengan cepat mengaplikasikan ilmunya.

Persepsi mahasiswa baru tentang prospek kerja jurusan juga menjadi data yang menarik. Sebanyak 65 % responden menjawab kurang tahu tentang prospek jurusan mereka. Data tersebut mencerminkan mahasiswa baru pesimisme terhapadap masa depan.

Sistem penerimaan mahasiswa melalui berbagai jalur. Memberi corak warna tersendiri dalam jumlah pemetaan karakteristik mahasiswa. Akses masuk orang miskin menjadi mahasiswa sangat dikebiri, pintunya lewat SNMPTN yang kuotanya hanya 9 % dan PBOS yang makin raib mendapat jatah 0,5 %. Disisi lain proporsi kuota swadana terus naik setiap tahun. Peluang mahasiswa tidak mampu untuk kuliah namun memiiliki kualitas menjadi kecil dan harus melewati persaingan yang keras. Arah tujuan sistem UU BHP semakin mengkerdilkan dan menafikan kesempatan mahasiswa miskin untuk mendapatkan haknya yaitu pendidikan. Semua dibungkus oleh komersialisasi kampus, menuju kampus eksklusif dengan pembatas portal barunya. Dunia kampus dipenuhi mahasiswa yang hanya berorientasi pada modal, artinya mereka berusaha mengembalikan uang SPMA yang diberikan pada awal menjadi mahasiswa. Perwujudan karakter mahasiswa hasil komersialisasi kampus dalam bentuk cepat lulus untuk dan langsung bekerja. Cenderung mahasiswa apatis terhadap keadaan sekitar orientasi mereka hanya kepada uang.

Idealisme mahasiswa harus dipertahankan, itulah kekuatan esensial peran aktif mahasiswa untuk mengawal demokrasi. Satu pertanyaan menarik dari Prof Taufik Abdullah, tentang generasi muda kita, yang didalamnya termasuk mahasiswa yakni: Apakah generasi (muda) ini menjadi epigon dari generasi pendahulunya, sebagai pemikul batu dari bangunan gedung yang sudah selesai?” Jawabnya Tidak! Jati diri mahasiswa sebagai pembaharu dan kritis modal karakter sejati, sebagai generasi penerus.

Dalam pengambilan sampel penelitian ini, kami mengguanakan metode sampel acak stratifikasi. Kami membuat polling mengenai tanggapan mahasiswa baru UGM terhadap aktivitas kampus. Populasi mahasiswa baru tingkat sarjana terdiri atas 18 fakultas dengan jumlah 6424 orang. Kami mengambl sampel sebanyak 345 orang mahasiswa baru. Dengan demikian sample fraction (interval) pengambilan sampel ini adalah 1/17. Setelah ditentukan angka intervalnya, maka sampel dapat diambil pada setiap interval ke-17 dari nomor induk mahasiswa paling awal pada tiap-tiap fakultas.

Pengumpulan pendapat melalui kuesioner ini diselenggrakan oleh BEM KM UGM pada tanggal 3-17 Agustus 2009. Sebanyak 362 responden diplih menggunakan sistem stratifikasi proporsional melalui Daftar Induk Mahasiswa. Tingkat kepercayaan 95 %.


Jumat, 29 Mei 2009

Menjadi Mahasiswa Aktif, Kreatif dan Berakhlak Mulia

by : ndaru sw

Kita bukanlah anak SMA lagi. Mahasiswa dituntut kreatif, mempunyai karakter dan berkepribadian mulia. Mahasiswa tidak hanya berangkat kuliah, pulang, mengerjakan tugas, esoknya berangka kuliah lagi.


Saya tidak mengira bisa masuk di UGM dan diterima menjadi mahasiswa di jurusan sejarah. Menjadi mahasiswa UGM adalah impian saya sejak kecil. Sehingga saya tidak mau mensiasiakan kesempatan emas ini. Saya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya di sini, tidak hanya mencari pangkat, melainkan juga wawasan dan kemampuan. Karena mahasiswa adalah penerus bangsa dan nasib bangsa esok ada ditangan kita.Menjadi Mahasiswa yang baik tidaklah mudah. Mahasiswa harus aktif, respect terhadap lingkungannya. Faktanya banyak para mahasiswa sukses dibidang akademika namun nol untuk lingkungannya. Terbukti saat ada kegiatan karang taruna kampung, kebanyakan yang aktif disitu adalah pemuda-pemudi bukan mahasiswa. Atau ini mungkin karena banyak diantara mereka yang kos? Namun dari mahasiswa yang kos pun sedikit yang aktif dalam organisasi. Mereka sibuk dengan urusan tugas dan bermain. Memang bermain itu perlu atau alangkah baiknya jika kita bermain sambil belajar. Mutakhir ini orang dituntut untuk melek media, kita harus dapat menggunakan media misal audio-visual untuk presentasi dan dokumentasi. Seorang mahasiswa humaniora atau sastra akan bagus jika menekuni hal tersebut toh selain juga aktif dalam media press.
Selain aktif mahasiswa juga perlu kreatif. Aktif tanpa kreatif rasanya seperti minum teh tanpa gula, jadi bersikap aktif berdampak baik namun kurang manis atau berhasil. Seorang yang kreatif akan mudah menyelesaiakan masalah demi masalah. Sifat kreatif ini sering dianggap sifat bawaan. Namun menurut saya itu tidak sepenuhnya benar. Yang mempengaruhi sifat ini adalah faktor lingkungan dan kebiasaan. Apabila kita membiasakan diri kita untuk mencari terobosan, inovatif kita akan dapat sifat itu. Sifat kreatif contohnya menggalang dana untuk kegiatan dengan mengadakan pentas seni dan penontonnya diharap menyumbang. Membuat blog komunitas angkatan yang memiliki koneksi ke universitas lain sehingga terjalin komunikasi aktif. Atau mungkin mengumpulkan tugas dengan media audio-video dalam VCD, tentunya ini untuk tugas seperti laporan kunjungan atau sejenisnya. Yang jelas tindakan kreatif jangan sampai mempersulit kita.
Sifat kreatif melahirkan sikap kritis yang diperlukan seorang mahasiswa. Saya memang belum mempunyai sikap kritis. Namun saya bertekad untuk memilikinya. Karena dengan bertindak semacam tu akan memperkuat pendirian dan mental kita.

Satu lagi sifat yang harus dimiliki setiap mahasiswa adalah berakhlak mulia. Menjadi pintar tanpa akhlak yang baik malah akan membahayakan. Korupsi mungkin menjadi bukti gagalnya pendidikan akhlak. Atau yang lebih dekat misalnya tawuran antar mahasiswa, skandal, narkoba dll. merupakan catatan hitam dalam dunia mahasiswa. Penyebab dari itu semua adalah kurangnya perhatian moral pada mahasiswa. Namun untuk meluruskannya sulit, perlu kesadaran dari diri masing-masing. Mahasiswa tidak hanya mementingkan akademik semata namun juga perlu spiritual. Selain itu kita juga harus memiliki rasa kebersamaan, tenggang rasa dan saling bantu membantu agar terjalin hubungan baik antar mahasiswa. Jadi No anarki, No tawuran just peace lovers. Hidup Mahasiswa.

Jumat, 30 Januari 2009

Nasib bangsa kita ditangan pemimpin

Banyak orang mengatakan jika nasib bangsa indonesia berada ditangan rakyat. Sebagaimna semboyan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono “Bersama Kita Bisa”. Saya setuju dengan semboyan tersebut, memang untuk membangun negara perlu partisipasi seluruh elemen rakyat. Tetapi kita juga harus tahu siapa yang lebih bertanggung jawab dalam membangun bangsa? Rakyat kah atau Pemimpinnya. Untuk hal ini saya setuju jikalau pemimpin lebih merupakan faktor penentu kemakmuran suatu bangsa dan kemakmuran rakyat adalah buktinya.

Sudah 63 tahun bangsa kita merdeka, terbebas dari penjajahan namun kita masih tetap merasa terjajah dan menderita. Harga-harga kebutuhan yang semakin mencekik, angka kemiskinan yang tak jelas banyaknya, korupsi dll sungguh semua ini seperti tak ada ubahnya dengan masa kolonial. Kalo begitu apa kita sudah merdeka? Arti merdeka mungkin sebatas pada penghapusan diskriminasi antar elit masyarakat pada masa revolusi kemerdekaan. Sekarang kondisi bangsa kita tampak mewah, berbagai fasilitas sudah baik dan modern. Namun itu semua akan terasa fana jika mengingat banyak fasilitas yang diimpor dari negara asing, walaupun toh tidak semuanya. Bangsa kita masih terlalu konsumtif terhadap barang asing dan enggan memakai barang negri sendiri. Hal ini lah yang membuat bangsa kita semakin menderita karena keuntungan tidak masuk kas negara melainkan ke negara lain. Kondisi ini membuktikan jika kita masih terjajah. Dan apa yang menjajah adalah skema mutakhir yang rapi dari investor asing yang dibuka lebar oleh pemerintah kita sendiri. Dalam hal ini pemimpin salah. Pemimpin yang baik harus berani menendang dan mengganti sistem ini.

Kita tidak bisa menutup mata melihat kelakuan para pemimpin kita. Sebagai contoh KPK pada hari Rabu, 9 April 08 menangkap basah anggota DPR terkait suap dan korupsi alih fungsi hutan lindung. Tentu saja ini membuat rakyat geram, pemimpin yang semestinya melindungi rakyat malah mengkhianati rakyat. Untuk itu hukuman apakah yang harus divoniskan pada wakil kita ini? Belum lagi aparat negara yang seharusnya menegakan hukum malah menjadikannya untuk kepentingan sendiri. Sungguh kondisi yang memprihatinkan, kaum eksekutif dan yudikatif tidak berjalan di tempatnya.

Pemimpin adalah orang yang berpengaruh atau dapat mempengaruhi. Dengan kekuasaannya ia dapat menciptakan program2, kebijakan yang sepenuhnya kehendak dia. Jadi pemimpin harus bisa menjadi hero (pahlawan) menyelamatkan nasib rakyat. Sebagaimana yang pernah ia janji2 kan saat masa kampanye. Pemimpin harus siap menderita demi rakyatnya, sebagaimana Jendral Besar Sudirman dalam perjuangannya. Walaupun sakit kian parah tetapi tetap berjuang membela rakyat yang lemah.

Sudah saatnya rakyat bangkit, kita belum merdeka, kita harus mengambil alih kursi kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Karena rakyat adalah kita. Karena nasib bangsa kita di tangan pemimpin.