oleh: ndaru sih
Mutakhir ini budaya tradisional kita sedang mendapat perhatian dari masyarakat domestik dan manca. Semenjak klaim-klaim kebudayaan seperti malaysia, kita menjadi sadar jika kebudayaan itu milik kita dan siapa lagi kalau bukan kita yang mewarisi. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri jikalau sekarang kita juga sedang mengalami krisis menghargai warisan kebudayaan. Kebanyakan dari kita secara sadar atau tidak telah memilih kebudayaan asing (eropa, cina dan jepang) dari pada kebudayaan nenek moyang kita sendiri. Dalam hal ini kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena transformasi budaya merupakan hal yang wajar terjadi apalagi di era globalisasi seperti saat ini. Namun kita juga tidak boleh berpangku tangan melihat warisan budaya kita kalah. Sebisa mungkin kita harus mempertahankan. Seiring dengan perkembangan zaman, seharusnya kita mampu menerapkan isu-isu aktual dalam kebudayaan kita. Sehingga motif kebudayaan senantiasa update atau tidak ketinggalan zaman. Karena selera masyarakat dulu dan sekarang memang berbeda. Mungkin dengan menuruti selera masyarakat sekarang kebudayaan kita akan lebih diminati khalayak.
Ketoprak merupakan contoh warisan budaya yang hampir punah. Di Kediri, Jawa Timur perkumpulan ketoprak masih dipertahankan sampai sekarang. Kelana Bhakti Budaya merupakan generasi ketoprak tobong yang sudah ada sejak tahun 1960-an. Saat perkumpulan-perkumpulan ketoprak lain mulai bangkrut, Kelana Bhakti Budaya lahir dengan niatan suci: mempertahankan budaya leluhur. Hanya niat tulus ikhlas lah yang mendasari semangat dari tiap anggota. Buktinya mereka tetap setia melakoni pentas keliling, walau dengan imbalan sedikit. Mereka juga rela di kala siang harus berkerja sambilan, menjadi tukang bangunan, tukang batu atau pekerjaan buruh lain.
Kelana Bhakti Budaya yang didirikan pada tahun 2000 ini melanjutkan generasi ketoprak tobong di Kediri. Dengan tertatih-tatih perkumpulan ini berdiri ditengah zaman televisi dan komputer. Di saat perkumpulan ketoprak sejenis banyak yang bangkrut, perkumpulan ini justru banyak berbenah diri. Sebelumnya perkumpulan ketoprak ini bernama Sri Budoyo (1992), kemudian berganti nama menjadi Candra Kirana (1994). Sebenarnya ketoprak ini sempat vakum ditahun 1999, namun berhasil bangkit lagi berkat usaha keras bapak Dwi Tartiyasa, pemilik ketoprak ini sekarang. Yang menarik dari perkumpulan ketoprak ini adalah : semangat dari para anggota ketoprak tobong yang merelakan hidup matinya di tobong. Mereka harus pentas berpindah-pindah dengan penghasilan yang sedikit. Belum lagi jika waktu musim penghujan datang, mereka tidak mendapat penghasilan dan hanya mendapat uang makan saja.
Bertahan ditengah zaman televisi dan komputer, ketoprak tobong tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Inovasi dalam ketoprak tobong sangat kurang, bahkan mungkin lakon cerita dari dulu sampai sekarang masih sama. Mereka tidak bisa memenuhi selera pasar sekarang, mungkin ini lah yang membuat ketoprak banyak kehilangan penonton. Mungkin juga karena pertunjukan ini digelar pada malam hari, mulai dari jam sembilan sampai setengah dua belas malam. Sehingga banyak orang yang enggan menyaksikan karena lebih baik menggunakan waktu mereka untuk beristirahat.
Seperti yang telah saya sebutkan dibagian isi, jika Kelana Bhakti Budaya adalah satu-satunya ketoprak tobong yang ada di Yogyakarta. Anggota dan penggemar ketoprak tobong ini hampir 97% adalah orang tua yang sudah berumur 50 keatas. Melihat hal tersebut bukan berarti saya mengharap ketoprak ini akan mati. Namun pada akhir makalah ini saya mengajak para pembaca untuk tidak melupakan budaya leluhur khususnya ketoprak tobong. Atau bahkan mungkin saudara ikhlas membantu dengan membeli karcis dan menonton pertunjukan ini.
(tulisan ini adalah bagian kesimpulan makalah Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya)
Minggu, 10 Januari 2010
Sejarah Batik
oleh: Januar Wida
mahasiswa sejarah UGM
Batik tulis merupakan salah satu hasil kebudayaan Indonesia yang unik karena teknik pembuatannya yang berbeda dengan seni yang lainnya. Batik tulis menyebar di beberapa daerah di Indonesia dan masing-masing daerah mempunyai ciri khasnya masing-masing. Ciri khas tersebut dilihat dari motif dan pola hias dari tiap-tiap daerah. Perbedaan-perbedaan motif dan pola hias di tiap-tiap daerah memperlihatkan beragamnya seni masyarakat Indonesia.
Ada beberapa pendapat tentang asal mula batik tulis tulis . Pendapat pertama menyatakan bahwa bati datang pertama di Indonesia di bawa oleh bangsa India bersamaan dengan penyebaran agama Hindu dan Budha. Pendapat kedua menyatakan bahwa batik tulis adalah produk asli Indonesia. Hal ini di dasari oleh alasan bahwa teknik pembuatan batik tulis, yaitu menutup dengan bahan lilin pada bagian-bagian kain yang tidak di beri warna, tidak hanya di kenal di daerah-daerah yang langsung mendapat pengaruh agama Hindhu dan Budha saja, seperti Jawa dan Madura, tetaapi teknik batik tulis juga dikenal di Toraja, Flores, dan Irian Jaya Pengembangan kesenian India di Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri. Jadi yang memperkaya kesenian Indonesia adalah orang-orang Indonesia yang telah hidup dan belajar di India untuk beberapa waktu. Jadi jelas bahwa bangsa Indonesia sendirilah yang menciptakan kesenian baru di Indonesia. Ini dibuktikan oleh bangunan-bangunan kuno seperti Borobudur, Prambanan dan sebagainya.
Sejarah batik tulis di Yogyakarta sangat erat kaitannya dengan keraton karena dari sinilah tonggak sejarah bermulanya perjalanan batik tulis di Yogyakarta pada masa lampau dan kemudian berkembang sampai saat ini. Di Yogyakarta batik tulis sudah ada sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I yang pada waktu itu batik merupakan baju kebesaran yang salah satu fungsinya di pakai untuk kepentingan upacara adat. Batik pada waktu itu disebut juga dengan batik tradisional. Batik tradisional dibedakan menjadi dua golongan , yaitu busana sehari-hari dan busana resmi. Busana sehari-hari adalah busana yang di pakai dalam acara sehari-hari sedangkan busana resmi adalah busana yang hanya dipakai dalam acara resmi saja.
Pada masa lampau batik merupakan cerminan status sosial karena pada waktu itu batik merupakan barang eksklusif sehingga dapat dilihat bahwa orang yang memakai batik pastilah orang dari kalangan atas. Seperti kita ketahui bahwa masyarakat Yogyakarta pada waktu itu masih erat kaitannya dengan strata sosial. Mereka hidup mengelompok dengan stratanya masing-masing.
Perusahaan-perusahaan batik tulis juga masih di pegang oleh kaum wanita yang biasa disebut dengan juragan batik. Pada mulanya tradisi membatik berasal dari kalangan putri keraton. Putri keraton pada saat itu masih harus mengikuti budaya adat yaitu masa remajanya dilalui dengan cara di pingit. Pingit adalah cara yang digunakan untuk mendidik putri keraton agar menjadi wanita yang seutuhnya. Pada masa pingitan putri keraton dilatih dalam hal kerumahtanggaan seperti: memasak, menyulam dan membatik. Jadi setiap putri keraton pasti bisa membatik. Maka dari itu sebagian besar wanita keraton banyak yang bisa membatik.
Pada masa kolonial, sebelum Perang Dunia I seluruh bahan kain yang di buat untuk membatik yang berupa kain mori semuanya diimpor dari Eropa khusunya Belanda. Usaha ini di rintis oleh Serikat Dagang Islam pada tahun 1911 yang di wakili oleh Djojoaminoto. Tujuan lembaga ini adalah untuk membangkitkan semangat wirausaha untuk memperbaiki ekonomi rakyat dan untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Tentu saja dengan adanya ini maka dunia perbatikan akan lebih maju lagi.
Pada abad XX batik mengalami perkembangan yang pesat. Pembuatan batik mulai menyebar di luar keraton. Pada 1850 ditemukan canting cap dan didukung oleh penemuan warna sintetis pada 1918, Penemuan cat sintesis di Jepang, Jerman, Inggris dan Perancis memberikan pengaruh besar terhadap dunia perbatikan. Bila di negara-negara Barat pabrik tekstile mencelup benang dengan warna sintesis, di Yogyakarta orang menggunakannya dalam proses pewarnaan.batik. Tetapi penggunaan cat kimiawi di Indonesia mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1922 pemerintahan kolonial belanda mendirikan Textiel Institut en Batik Proef Station di Bandung. Lembaga ini bertujuan untuk memberikan penyuluhan kepada perajin. Pada tahun 1927 batik mengalami kemajuan, sehingga membuktikan bahwa usaha yang di lakukan oleh pemerintah kolonial Belanda telah berhasil.
Pada tahun 1927 ketika Belanda mulai berhasil mengembangkan usaha batiknya, Jepang mulai mengekspor mori ke Indonesia, hal ini menggeser kedudukan pasar mori Belanda. Sistem penyaluran produk impor ini melibatkan para pedagang Cina dan Arab. Segi pemasaran produk batiknya dikuasai oleh cina dan menjualnya dengan cara ijon. Oleh karena itu para pengusaha batik berusaha keluar dari situasi ini dengan cara mendirikan koperasi. Sehingga pada tahun 1939, di surakarta didirikan gabungan koperasi batik, yang bertujuan dapat membeli mori dan bahan batik langsung dari Importir. Gabungan koperasi batik kemudian mengusahakan impor sendiri mori dan bahan batik dan berupaya mendirikan pabrik mori secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal cara berdagang yang baik. Koperasi ini semakin lama semakin berkembang.
Perkembangan koperasi ini hanya sampai sekitar tahun 1942 pada saat pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang memerintah dengan cara militeristik dan memusatkan semua kegiatannya pada perang Hal ini pasti akan sangat berpengaruh pada perkembangan batik tulis dan batik cetak di Indonesia khususnya Yogyakarta.. Para pengusaha batik tulis akan kesulitan mendapatkan bahan baku untuk pembuatan batik tulis. Impor kain mori macet total pada saat itu. Setelah tahun1950 barulah produksi batik tulis sedikit demi sedikit kembali bangkit, hal ini karena adanya campur tangan dari pemerintah Indonesia dengan mendirikan Balai Penyelidikan Batik Yogyakarta di bawah pengawasan pusat Jawatan Perindustrian di Jakarta. Lembaga ini bertugas memberikan bimbingan tentang pembuatan batik yang baik dan benar, sehingga kualitas batik akan semakin meningkat.
Pada tahun 50-an batik tulis mengalami perkembangan yang signifikan. Baru pada tahun 70-an sampai tahun 80-an batik mengalami perkembangan yang pesat. Produksi batik tidak hanya di buat baju saja tetapi dibuat berfariasi seperti busana modern (kemeja, rok, blus dan lain-lain), elemen interior (taplak meja, seprei, korden dan lain-lain), cinderamata (dompet, tas, dan hiasan dinding). Pada tahun ini terjadi perubahan bentuk dan fungsi batik tulis. Jika dulu batik tulis berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan segitiga namun sekarang sangat bervariasi dengan seni hias yang berbeda. Demikian juga dilihat dari fungsinya, jika dulu kain batik tulis hanya di gunakan sebagai pakaian saja tetapi sekarang kain batik tulis di gunakan sebagai cinderamata, elemen interior dan lain-lain.
mahasiswa sejarah UGM
Batik tulis merupakan salah satu hasil kebudayaan Indonesia yang unik karena teknik pembuatannya yang berbeda dengan seni yang lainnya. Batik tulis menyebar di beberapa daerah di Indonesia dan masing-masing daerah mempunyai ciri khasnya masing-masing. Ciri khas tersebut dilihat dari motif dan pola hias dari tiap-tiap daerah. Perbedaan-perbedaan motif dan pola hias di tiap-tiap daerah memperlihatkan beragamnya seni masyarakat Indonesia.
Ada beberapa pendapat tentang asal mula batik tulis tulis . Pendapat pertama menyatakan bahwa bati datang pertama di Indonesia di bawa oleh bangsa India bersamaan dengan penyebaran agama Hindu dan Budha. Pendapat kedua menyatakan bahwa batik tulis adalah produk asli Indonesia. Hal ini di dasari oleh alasan bahwa teknik pembuatan batik tulis, yaitu menutup dengan bahan lilin pada bagian-bagian kain yang tidak di beri warna, tidak hanya di kenal di daerah-daerah yang langsung mendapat pengaruh agama Hindhu dan Budha saja, seperti Jawa dan Madura, tetaapi teknik batik tulis juga dikenal di Toraja, Flores, dan Irian Jaya Pengembangan kesenian India di Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri. Jadi yang memperkaya kesenian Indonesia adalah orang-orang Indonesia yang telah hidup dan belajar di India untuk beberapa waktu. Jadi jelas bahwa bangsa Indonesia sendirilah yang menciptakan kesenian baru di Indonesia. Ini dibuktikan oleh bangunan-bangunan kuno seperti Borobudur, Prambanan dan sebagainya.
Sejarah batik tulis di Yogyakarta sangat erat kaitannya dengan keraton karena dari sinilah tonggak sejarah bermulanya perjalanan batik tulis di Yogyakarta pada masa lampau dan kemudian berkembang sampai saat ini. Di Yogyakarta batik tulis sudah ada sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I yang pada waktu itu batik merupakan baju kebesaran yang salah satu fungsinya di pakai untuk kepentingan upacara adat. Batik pada waktu itu disebut juga dengan batik tradisional. Batik tradisional dibedakan menjadi dua golongan , yaitu busana sehari-hari dan busana resmi. Busana sehari-hari adalah busana yang di pakai dalam acara sehari-hari sedangkan busana resmi adalah busana yang hanya dipakai dalam acara resmi saja.
Pada masa lampau batik merupakan cerminan status sosial karena pada waktu itu batik merupakan barang eksklusif sehingga dapat dilihat bahwa orang yang memakai batik pastilah orang dari kalangan atas. Seperti kita ketahui bahwa masyarakat Yogyakarta pada waktu itu masih erat kaitannya dengan strata sosial. Mereka hidup mengelompok dengan stratanya masing-masing.
Perusahaan-perusahaan batik tulis juga masih di pegang oleh kaum wanita yang biasa disebut dengan juragan batik. Pada mulanya tradisi membatik berasal dari kalangan putri keraton. Putri keraton pada saat itu masih harus mengikuti budaya adat yaitu masa remajanya dilalui dengan cara di pingit. Pingit adalah cara yang digunakan untuk mendidik putri keraton agar menjadi wanita yang seutuhnya. Pada masa pingitan putri keraton dilatih dalam hal kerumahtanggaan seperti: memasak, menyulam dan membatik. Jadi setiap putri keraton pasti bisa membatik. Maka dari itu sebagian besar wanita keraton banyak yang bisa membatik.
Pada masa kolonial, sebelum Perang Dunia I seluruh bahan kain yang di buat untuk membatik yang berupa kain mori semuanya diimpor dari Eropa khusunya Belanda. Usaha ini di rintis oleh Serikat Dagang Islam pada tahun 1911 yang di wakili oleh Djojoaminoto. Tujuan lembaga ini adalah untuk membangkitkan semangat wirausaha untuk memperbaiki ekonomi rakyat dan untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial. Tentu saja dengan adanya ini maka dunia perbatikan akan lebih maju lagi.
Pada abad XX batik mengalami perkembangan yang pesat. Pembuatan batik mulai menyebar di luar keraton. Pada 1850 ditemukan canting cap dan didukung oleh penemuan warna sintetis pada 1918, Penemuan cat sintesis di Jepang, Jerman, Inggris dan Perancis memberikan pengaruh besar terhadap dunia perbatikan. Bila di negara-negara Barat pabrik tekstile mencelup benang dengan warna sintesis, di Yogyakarta orang menggunakannya dalam proses pewarnaan.batik. Tetapi penggunaan cat kimiawi di Indonesia mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1922 pemerintahan kolonial belanda mendirikan Textiel Institut en Batik Proef Station di Bandung. Lembaga ini bertujuan untuk memberikan penyuluhan kepada perajin. Pada tahun 1927 batik mengalami kemajuan, sehingga membuktikan bahwa usaha yang di lakukan oleh pemerintah kolonial Belanda telah berhasil.
Pada tahun 1927 ketika Belanda mulai berhasil mengembangkan usaha batiknya, Jepang mulai mengekspor mori ke Indonesia, hal ini menggeser kedudukan pasar mori Belanda. Sistem penyaluran produk impor ini melibatkan para pedagang Cina dan Arab. Segi pemasaran produk batiknya dikuasai oleh cina dan menjualnya dengan cara ijon. Oleh karena itu para pengusaha batik berusaha keluar dari situasi ini dengan cara mendirikan koperasi. Sehingga pada tahun 1939, di surakarta didirikan gabungan koperasi batik, yang bertujuan dapat membeli mori dan bahan batik langsung dari Importir. Gabungan koperasi batik kemudian mengusahakan impor sendiri mori dan bahan batik dan berupaya mendirikan pabrik mori secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal cara berdagang yang baik. Koperasi ini semakin lama semakin berkembang.
Perkembangan koperasi ini hanya sampai sekitar tahun 1942 pada saat pendudukan Jepang. Pada saat itu Jepang memerintah dengan cara militeristik dan memusatkan semua kegiatannya pada perang Hal ini pasti akan sangat berpengaruh pada perkembangan batik tulis dan batik cetak di Indonesia khususnya Yogyakarta.. Para pengusaha batik tulis akan kesulitan mendapatkan bahan baku untuk pembuatan batik tulis. Impor kain mori macet total pada saat itu. Setelah tahun1950 barulah produksi batik tulis sedikit demi sedikit kembali bangkit, hal ini karena adanya campur tangan dari pemerintah Indonesia dengan mendirikan Balai Penyelidikan Batik Yogyakarta di bawah pengawasan pusat Jawatan Perindustrian di Jakarta. Lembaga ini bertugas memberikan bimbingan tentang pembuatan batik yang baik dan benar, sehingga kualitas batik akan semakin meningkat.
Pada tahun 50-an batik tulis mengalami perkembangan yang signifikan. Baru pada tahun 70-an sampai tahun 80-an batik mengalami perkembangan yang pesat. Produksi batik tidak hanya di buat baju saja tetapi dibuat berfariasi seperti busana modern (kemeja, rok, blus dan lain-lain), elemen interior (taplak meja, seprei, korden dan lain-lain), cinderamata (dompet, tas, dan hiasan dinding). Pada tahun ini terjadi perubahan bentuk dan fungsi batik tulis. Jika dulu batik tulis berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, dan segitiga namun sekarang sangat bervariasi dengan seni hias yang berbeda. Demikian juga dilihat dari fungsinya, jika dulu kain batik tulis hanya di gunakan sebagai pakaian saja tetapi sekarang kain batik tulis di gunakan sebagai cinderamata, elemen interior dan lain-lain.
Langganan:
Postingan (Atom)