Pages - Menu

Selasa, 08 September 2009

Jati Diri Baru Mahasiswa

oleh Radit Dukarno

Idealisme mahasiswa sikap pantang menyerah untuk mentransformasikan bentuk ideal cita-citanya menjadi kenyataan. Seperti yang dikmukakan oleh Lewis Coser, mahasiswa adalah “orang-orang yang kelihatanya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya”. Mereka mencari dan mempertanyakan kebenaran yang berlaku di suatu saat, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Definisi Mahasiswa adalah individu yang sedang melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka menempuh suatu program pendidikan. Mahasiswa secara luas adalah pembaharu bagi kemajuan dan penopang hidup masyarakat. Sebagai kelompok intelektual-teknokrat, mahasiswa berpeluang untuk berada dalam posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat.

Pasca 98 pergerakan mahasiswa seperti mati suri, tenggelam dalam euforia keberhasilan menggulingkan rezim otoritarian. Apakah cita-cita ideal tentang kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat telah tercapai ? realitanya, “ musuh bersama” masih hidup dan merupakan bahaya laten yang lebih masif. Selama status quo, wajah baru neoliberalisme masih berkuasa cita-cita mahasiswa belum tercapai!. Persoalannya, kemana tongkat estafet idealisme mahasiswa ? Tongkat estafet idealisme rapuh dimakan “rayap-rayap” komersialisasi kampus. Idealisme mereka digadaikan karena biaya kuliah tinggi akibat sistem undang-undang pendidikan yang baru. Pragmatisme mahasiswa ini seperti temuan survei BEM KM UGM terhadap Mahasiswa UGM, yang dilakukan pada bulan April 2009. Survei yang mengambil sampel sebanyak 380 mahasiswa aktif S1 dan D3 UGM ini menemukan bahwa, sebanyak 28,9% responden mahasiswa tidak aktif berorganisasi di lingkup kampus. Bahkan untuk organisasi ekstra kampus, tingkat keaktifan mahasiswa jauh lebih rendah, yaitu sebanyak 78,8% responden. Karakteristik mahasiswa ini diperkuat dengan tipe pilihan tema kegiatan. Self Motivation, Kewirausahaan, dan Tips Berkarir adalah tiga tema utama yang paling digemari mahasiswa untuk memilih suatu kegiatan. Sementara isu-isu pendidikan seperti UU BHP, Pemilu kurang diminati. Semua temuan tersebut mengindikasikan kecenderungan mahasiswa yang hanya berpikir untuk pengembangan dirinya.

Hasil jajak pendapat seperti ini juga terekam dalam survei BEM KM UGM yang mengambil sampel 345 responden, tentang persepsi mahasiswa baru UGM terhadap aktivitas kampus. Generasi mahasiswa mendatang di perkirakan akan kehilangan kultur aktivis. Ekspresi tersebut ditunjukan oleh 57,60 % responden yang tidak setuju terhadap aksi demonstrasi jika pihak universitas menaikan biaya kuliah. Demonstrasi, aksi legendaris mahasiswa bentuk perwujudan ketidakpuasan ketika semua tidak berjalan ideal. Ironisnya mengalami paradoksial, sinarnya akan segera redup. Penegasan terhadap kondisi demikian terefleksikan, pada minat masuk organisasi pergerakan dimata mahasiswa baru sangat kecil. Hanya 5 % responden yang berminat menjadi aktivis.

Mahasiswa bukan hanya terdaftar secara administratif dan belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa juga harus menuntut transparansi dan pengelolaan keuangan dari pihak universitas. Hasilnya 57,60 responden menjawab setuju terhadap masalah transparansi keuangan. Semantara itu pemahaman mahasiswa terhadap isu non akademis, menunjukan fakta yang menarik. Sebanyak 40,50 % responden menjawab kurang setuju dan 3,40 % sangat tidak setuju terhadap masalah relokasi pkl oleh pihak univesitas. Sebaliknya 52,50 % responden menjawab setuju dan 3,40 % menjawab sangat setuju. Bila diakumulasikan data mahasiswa yang respect terhadap masalah pkl memang masih tinggi tetapi selisihnya tipis dengan mahasiswa yang kontra. Ada indikasi bahwa mahasiswa apatis terhadap permasalahan sosial. Orientasi mereka hanya terpusat terhadap permasalahan tataran lingkungan kampus. Mahasiswa harus inklusif peka terhadap permasalahan sekitarnya dan kontekstual telibat dalam proses pengawalan keadilan.

Ada kecenderungan mahasiswa baru akan fokus ke study oriented, disampaikan oleh 54 % responden menjawab setuju akan mempercepat kuliah. Dugaan ini semakin menguat, responden memilih setuju 40,70 % dan sangat setuju 25,40 % tugas utama mahasiswa adalah mengejar IP tinggi. Hal ini menunjukan bahwa pesan mahasiswa baru lebih tertarik pada persoalan individualis dan terjadi reduksi kultur aktivis dikalangan mahasiswa.

Komposisi yang seimbang, mahasiwa tidak hanya memiliki IQ yang tinggi tetapi juga diimbangi EQ (kecerdasaan emosi). Bahkan berdasarkan banyak penelitian, IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20 % sedangkan kecerdasan emosi memberi kontribusi 80 % (Irfan, dkk, 2000:33 dan Ngermanto, 2000:97). Pembangunan karakter mahasiswa tidak hanya duduk dikelas, menghapal perkataan dosen , dan mengejar nilai. Ada dinamika lain yaitu kepemimpinan dan proses pendewasaan, lewat organisasi kemahasiswaan kecerdasan emosi terbentuk. Dunia organisasi mengajarkan mahasiswa untuk mampu bersosialisasi, saling membantu, dan bertukar pendapat. Keuntungan lainya mahasiswa siap diterjunkan ditengah masyarakat dan langsung dengan cepat mengaplikasikan ilmunya.

Persepsi mahasiswa baru tentang prospek kerja jurusan juga menjadi data yang menarik. Sebanyak 65 % responden menjawab kurang tahu tentang prospek jurusan mereka. Data tersebut mencerminkan mahasiswa baru pesimisme terhapadap masa depan.

Sistem penerimaan mahasiswa melalui berbagai jalur. Memberi corak warna tersendiri dalam jumlah pemetaan karakteristik mahasiswa. Akses masuk orang miskin menjadi mahasiswa sangat dikebiri, pintunya lewat SNMPTN yang kuotanya hanya 9 % dan PBOS yang makin raib mendapat jatah 0,5 %. Disisi lain proporsi kuota swadana terus naik setiap tahun. Peluang mahasiswa tidak mampu untuk kuliah namun memiiliki kualitas menjadi kecil dan harus melewati persaingan yang keras. Arah tujuan sistem UU BHP semakin mengkerdilkan dan menafikan kesempatan mahasiswa miskin untuk mendapatkan haknya yaitu pendidikan. Semua dibungkus oleh komersialisasi kampus, menuju kampus eksklusif dengan pembatas portal barunya. Dunia kampus dipenuhi mahasiswa yang hanya berorientasi pada modal, artinya mereka berusaha mengembalikan uang SPMA yang diberikan pada awal menjadi mahasiswa. Perwujudan karakter mahasiswa hasil komersialisasi kampus dalam bentuk cepat lulus untuk dan langsung bekerja. Cenderung mahasiswa apatis terhadap keadaan sekitar orientasi mereka hanya kepada uang.

Idealisme mahasiswa harus dipertahankan, itulah kekuatan esensial peran aktif mahasiswa untuk mengawal demokrasi. Satu pertanyaan menarik dari Prof Taufik Abdullah, tentang generasi muda kita, yang didalamnya termasuk mahasiswa yakni: Apakah generasi (muda) ini menjadi epigon dari generasi pendahulunya, sebagai pemikul batu dari bangunan gedung yang sudah selesai?” Jawabnya Tidak! Jati diri mahasiswa sebagai pembaharu dan kritis modal karakter sejati, sebagai generasi penerus.

Dalam pengambilan sampel penelitian ini, kami mengguanakan metode sampel acak stratifikasi. Kami membuat polling mengenai tanggapan mahasiswa baru UGM terhadap aktivitas kampus. Populasi mahasiswa baru tingkat sarjana terdiri atas 18 fakultas dengan jumlah 6424 orang. Kami mengambl sampel sebanyak 345 orang mahasiswa baru. Dengan demikian sample fraction (interval) pengambilan sampel ini adalah 1/17. Setelah ditentukan angka intervalnya, maka sampel dapat diambil pada setiap interval ke-17 dari nomor induk mahasiswa paling awal pada tiap-tiap fakultas.

Pengumpulan pendapat melalui kuesioner ini diselenggrakan oleh BEM KM UGM pada tanggal 3-17 Agustus 2009. Sebanyak 362 responden diplih menggunakan sistem stratifikasi proporsional melalui Daftar Induk Mahasiswa. Tingkat kepercayaan 95 %.


1 komentar:

komentar-komentar